Aku
sangat berterima kasih kepada orang tua-ku yang mendidik ku hingga sekarang
ini. Entah kenapa, aku sangat bangga, karena dari mereka aku bisa mengatakan
bahwa aku kuat. Alhamdulilah, banyak teman-teman yang mengatakan aku wanita
kuat, ya... padahal, sebenarnya... aku tidak sekuat itu.
Dulu,
ketika aku masih TK, aku sempat dijuluki “gembeng” dan”cengeng” karena sifatku
yang gampang menangis. Entah itu karena permintaanku tak terpenuhi, entah
karena aku dijahili dan beberapa alasan sederhana lain. Mungkin karena itulah,
orang tuaku mendidik dengan cara yang agak keras, supaya aku tidak tumbuh
sebagai manusia yang lembek.
Aku
yang dulu, dipaksa mendapat nilai bagus. Yang tidak lepas dari pukulan dan
cubitan ibu karena susah makan. Tidak
jauh dari bentakan, gertakan dan jeweran ibu karena tidak mendapat nilai 100 di
ulangan dan kurungan di dalam kamar jika ranking turun. Sungguh, aku tidak
melihat itu sebagai suatu kekerasan atau penyiksaan, justru aku bersyukur
dengan itu.
Terlepas
dari itu, masa-masa di SD-ku pun juga kurang menyenangkan.
Pertama,
ketika kelas 1 SD, aku (kebetulan) duduk sebangku dengan anak yang suka
menjambak, memukul, dan mencubitku. Bukan karena gemas, tapi ya memang sifatnya
seperti itu. Masih teringat jelas aku sering menangis di rumah, karena perilaku
temanku. Ingin menceritakannya pada ibu dan bapak, tapi takut dibilang anak
gembeng dan cengeng. Akhirnya aku hanya diam, sampai akhirnya orang tuaku sadar
jika aku tidak sedang baik-baik saja. Merekapun meeminta wali kelas untuk memindah
tempat duduk, dan sebelum itu terjadi, temanku itu.... pindah sekolah. Anugerah
kah?
Kedua,
ketika aku kelas 3 – 4 SD. Bisa dibilang masa-masa suram di kehidupan SD karena
aku bagaikan anak kecil tak berdaya yang bisa diperalat dan diperas. Uang jajanku
diambil, bekal makanan diminta, disuruh ini dan itu. Aku bagai anggota paling
junior di dalam geng. Ya, dimana harus selalu mengikuti perintah sang ketua.
Betapa bodohnya... membuat diri sendiri menjadi selalu takut dan gelisah.
Lagi-lagi, orang tuaku mengetahuinya. Cukup menjadi besar masalahnya karena
orang tuaku langsung berurusan dengan orang tua “ketua geng” dan wali kelasku.
Bagaimana? Sudah cukupkah? Ternyata belum.
Ketiga,
ini paling menjengkelkan. Aku selalu muak mengingat masa SD, ah mungkin tidak
usah aku ceritakan. Terlalu muak. Yang jelas, hal itu membuat aku menjadi
semakin was-was dengan yang namanya lelaki.
Ya
mungkin pengalaman-pengalaman itulah bekal kuatku sekarang. Namun, dibalik itu,
orang tuaku sangatlah baik dengan menjejaliku pengalaman-pengalaman agar aku
kuat dan mandiri juga dewasa sebelum waktunya.
Dulu
ketika kelas 4 SD aku sudah dipercaya untuk memegang uang saku mingguan. Di
saat teman-temanku masih meminta orang tuanya sangu setiap pagi akan berangkat
sekolah, aku sudah disediakan dompet. Awalnya aku bingung, tapi aku turuti
saja. Dengan itu aku jadi bisa lebih banyak menabung.
Selain
itu, mulai kelas 4 SD juga, aku sudah “disuruh” untuk naik angkutan umum
sendiri. Entah apa alasannya. Lagi-lagi, aku hanya menuruti.
Ada
1 peristiwa, saat awal-awal kelas 5. Aku menelpon untuk dijemput pulang, tapi
kata ibu aku naik angkot saja. Aku hanya “manut”. Aku asal saja menunggu depan
sekolah, ada angkot lewat, aku naik dan duduk. Bodohnya aku, aku mengira semua
angkot akan menuju arah yang sama. Ternyata aku nyasar.. jauh.. jauh sekali.
Angkot menuju arah yang berlawanan dari rumahku. Bayangkan, anak kelas 5 SD,
sendirian di angkot dan nyasar. Uang sangupun tinggal berapa... aku bingung.
Untung, pak sopirnya baik... singkat cerita aku kembali bisa pulang dengan
selamat. Hebatnya aku tidak nangis di jalan, tetapi saat di rumah menceritakan
semua ke orang tua, sesenggukan tidak keruan, bapak ibu cuman bisa tertawa.
Esoknya? Naik angkot lagi, seakan kemarin tidak ada kejadian apa-apa.
Sekarang?
Aku seseorang yang bagaimana? Aku mencoba kuat. Banyak teman-teman yang bilang
aku kuat. Disaat aku memamerkannya pada ibu, beliau hanya melengos dan bilang “halah, cengeng, gembeng kok kuat” lucu ya? Ibuku masih memandang aku sebagai anak
yang gembeng. Tapi jujur, memang. Di luar mungkin aku terlihat tegar. Tetapi
sebenarnya, ketika aku akan tidur... aku meluapkannya dengan menangis
sekencang-kencangnya. Esoknya, diam, tersenyum... seakan tidak ada apa-apa. Ya
itulah aku. Menjadi kuat tidaklah gampang. Menjadi kuat butuh tekanan. Dan aku
ingin menjadi lebih kuat lagi, dan itu artinya aku akan lebih banyak lagi
mendapatkan tekanan.