Selasa, 02 Februari 2016

Menjadi Kuat

Aku sangat berterima kasih kepada orang tua-ku yang mendidik ku hingga sekarang ini. Entah kenapa, aku sangat bangga, karena dari mereka aku bisa mengatakan bahwa aku kuat. Alhamdulilah, banyak teman-teman yang mengatakan aku wanita kuat, ya... padahal, sebenarnya... aku tidak sekuat itu.

Dulu, ketika aku masih TK, aku sempat dijuluki “gembeng” dan”cengeng” karena sifatku yang gampang menangis. Entah itu karena permintaanku tak terpenuhi, entah karena aku dijahili dan beberapa alasan sederhana lain. Mungkin karena itulah, orang tuaku mendidik dengan cara yang agak keras, supaya aku tidak tumbuh sebagai manusia yang lembek.

Aku yang dulu, dipaksa mendapat nilai bagus. Yang tidak lepas dari pukulan dan cubitan ibu karena susah makan.  Tidak jauh dari bentakan, gertakan dan jeweran ibu karena tidak mendapat nilai 100 di ulangan dan kurungan di dalam kamar jika ranking turun. Sungguh, aku tidak melihat itu sebagai suatu kekerasan atau penyiksaan, justru aku bersyukur dengan itu.

Terlepas dari itu, masa-masa di SD-ku pun juga kurang menyenangkan.
Pertama, ketika kelas 1 SD, aku (kebetulan) duduk sebangku dengan anak yang suka menjambak, memukul, dan mencubitku. Bukan karena gemas, tapi ya memang sifatnya seperti itu. Masih teringat jelas aku sering menangis di rumah, karena perilaku temanku. Ingin menceritakannya pada ibu dan bapak, tapi takut dibilang anak gembeng dan cengeng. Akhirnya aku hanya diam, sampai akhirnya orang tuaku sadar jika aku tidak sedang baik-baik saja. Merekapun meeminta wali kelas untuk memindah tempat duduk, dan sebelum itu terjadi, temanku itu.... pindah sekolah. Anugerah kah?

Kedua, ketika aku kelas 3 – 4 SD. Bisa dibilang masa-masa suram di kehidupan SD karena aku bagaikan anak kecil tak berdaya yang bisa diperalat dan diperas. Uang jajanku diambil, bekal makanan diminta, disuruh ini dan itu. Aku bagai anggota paling junior di dalam geng. Ya, dimana harus selalu mengikuti perintah sang ketua. Betapa bodohnya... membuat diri sendiri menjadi selalu takut dan gelisah. Lagi-lagi, orang tuaku mengetahuinya. Cukup menjadi besar masalahnya karena orang tuaku langsung berurusan dengan orang tua “ketua geng” dan wali kelasku. Bagaimana? Sudah cukupkah? Ternyata belum.

Ketiga, ini paling menjengkelkan. Aku selalu muak mengingat masa SD, ah mungkin tidak usah aku ceritakan. Terlalu muak. Yang jelas, hal itu membuat aku menjadi semakin was-was dengan yang namanya lelaki.

Ya mungkin pengalaman-pengalaman itulah bekal kuatku sekarang. Namun, dibalik itu, orang tuaku sangatlah baik dengan menjejaliku pengalaman-pengalaman agar aku kuat dan mandiri juga dewasa sebelum waktunya.

Dulu ketika kelas 4 SD aku sudah dipercaya untuk memegang uang saku mingguan. Di saat teman-temanku masih meminta orang tuanya sangu setiap pagi akan berangkat sekolah, aku sudah disediakan dompet. Awalnya aku bingung, tapi aku turuti saja. Dengan itu aku jadi bisa lebih banyak menabung.
Selain itu, mulai kelas 4 SD juga, aku sudah “disuruh” untuk naik angkutan umum sendiri. Entah apa alasannya. Lagi-lagi, aku hanya menuruti.
Ada 1 peristiwa, saat awal-awal kelas 5. Aku menelpon untuk dijemput pulang, tapi kata ibu aku naik angkot saja. Aku hanya “manut”. Aku asal saja menunggu depan sekolah, ada angkot lewat, aku naik dan duduk. Bodohnya aku, aku mengira semua angkot akan menuju arah yang sama. Ternyata aku nyasar.. jauh.. jauh sekali. Angkot menuju arah yang berlawanan dari rumahku. Bayangkan, anak kelas 5 SD, sendirian di angkot dan nyasar. Uang sangupun tinggal berapa... aku bingung. Untung, pak sopirnya baik... singkat cerita aku kembali bisa pulang dengan selamat. Hebatnya aku tidak nangis di jalan, tetapi saat di rumah menceritakan semua ke orang tua, sesenggukan tidak keruan, bapak ibu cuman bisa tertawa. Esoknya? Naik angkot lagi, seakan kemarin tidak ada kejadian apa-apa.

Sekarang? Aku seseorang yang bagaimana? Aku mencoba kuat. Banyak teman-teman yang bilang aku kuat. Disaat aku memamerkannya pada ibu, beliau hanya melengos dan bilang “halah, cengeng, gembeng kok kuat”  lucu ya? Ibuku masih memandang aku sebagai anak yang gembeng. Tapi jujur, memang. Di luar mungkin aku terlihat tegar. Tetapi sebenarnya, ketika aku akan tidur... aku meluapkannya dengan menangis sekencang-kencangnya. Esoknya, diam, tersenyum... seakan tidak ada apa-apa. Ya itulah aku. Menjadi kuat tidaklah gampang. Menjadi kuat butuh tekanan. Dan aku ingin menjadi lebih kuat lagi, dan itu artinya aku akan lebih banyak lagi mendapatkan tekanan.